Kontan no. 18, Tahun X, 2006, 03-Pebruari-2006
|
Ekspor
Fiktif Demi Restitusi Pajak
|
Kembali
media masa menyorot soal dokumen ekspor fiktif yang menjadi modus pembobolan
restitusi pajak. Santernya pemberitaan telah menimbulkan tanda tanya besar
yangcukupmembingungkan masyarakat awam: �Mengapa
begitu mudah uang negara ditukar dengan dokumen palsu?
|
Kembali
media masa menyorot soal dokumen ekspor fiktif yang menjadi modus pembobolan
restitusi pajak. Santernya pemberitaan telah menimbulkan tanda tanya besar
yangcukupmembingungkan masyarakat awam: �Mengapa
begitu mudah uang negara ditukar dengan dokumen palsu?
Restitusi
pajak merupakan bentuk pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai
bagian dan hak wajib pajak berkait dengan kegiatan ekspor barang yang
menggunakan komponen bahan baku atau barang lain. Berdasarkan pengertian tersebut,
pihak yang berhak memperoleh restitusi pajak adalah eksportir yang
menggunakan kompenen bahan/barang, baik dibeli dan impor maupun dari dalam
negeri.
Dalam
kegiatan impor barang, ada pengurusan dokumen-dokumen impor dan penyelesaian
kewajiban pajak impor termasuk PPN. Jumlah besaran pajak yang tertuang pada
data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) akan menjadi utang pajak dan harus
segera dilunasi berdasarkan faktur pajak yang telah diisi. PIB, bukti setoran
pajak, dan dokumen pengiriman (bill of lading/airway bill), serta dokumen
lainnya, akan menjadi syarat pengurusan barang untuk dikeluarkan dan wilayah
pabean.
Selanjutnya,
barang impor tersebut akan menjadi bahan baku/tambahan dalam rangka ekspor.
Realisasi ekspornya akan menentukan hak memperoleh restitusi pajak Penaglhan
restitusi itu sendiri harus didukung oleh bukti pengiriman barang dengan
ditunjukkan dokumen-dokumen ekspor di depan kantor pelayanan pajak (KPP).
Nah, kasus yang terungkap di KPP Pademangan, Jakarta Utara, adalah skenario pembobolan
dana restitusi pajak dengan dokumen ekspor berikut faktur pajak yang sama
sekali fiktif.
Cara mereka menilap uang negara
Dengan
berpura-pura sebagai pembeli barang, pelaku kejahatan akan memperoleh faktur
pajak dan penjualnya sebagai bukti bahwa pembeli telah membayar; bukan saja
harga barang, melainkan juga beban pajak PPN. Selanjutnya, berbekal faktur
pajak tersebut, serta dokumen-dokumen ekspor yang terdiri dari Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB), bill of lading (B/L), invoice, dan packing list, pelaku
mengajukan permohonan restitusi pajak ke KPP. Atas dasar dokumen tersebut,
KPP membayarkan restitusi, hanya menggunakan dasar pemahamannya bahwa ekspor
barang telah terjadi. Alasannya, pelaku telah menunjukkan B/L dari perusahaan
pelayaran dan diperkuat dengan PEB yang disahkan Bea Cukai. Logikanya, barang
telah melewati pemantauan instansi tersebut untuk benar-benar diekspor.
Masalahnya, bagaimana pelaku mendapatkan dokumen ekspor? Gampang. Kira-kira mereka akan menempuh tahapan seperti ini:
Eksportir
fiktif yang telah mengantongi faktur pajak datang ke Kantor Bea Cukai untuk
mengurus dokumen PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang). Bea Cukai meneliti
kebenaran data isian PEB berdasarkan data pendukung invoice dan packing list.
Apabila tidak ada keraguan atas data-data yang ada, pihak Bea Cukai akan
melakukan registrasi/fiat yang berarti menunjukkan status barang tersebut
sebagai barang ekspor.
Eksportir
fiktif memasukkan barang atau seolah-olah memasukkan barang ke dalam
kontainer untuk dikirim ke terminal petikemas, sekalipun nantinya kontainer
berikut isinya akan dikeluarkan kembali dari kawasan peti kemas.
Perusahaan
pelayaran (shiping company) atau agen pelayaran menerbitkan bill of lading
(B/L) yang seolah-olah menjadi bukti bahwa kontainer tersebut sudah dimuat di
atas kapal untuk kemudian diangkut.
Pertanyaan
susulan, bagamana mungkin perusahaan pelayaran menerbitkan B/L kalau barang
tak benar-benar naik kapal? Begini, tak sedikit eksportir menggunakan jasa
pihak lain (forwarder) untuk melancarkan urusan barang dan sekaligus dokumen
ekspornya. Forwarder menjual jasa pengurusan dokumen dan barang dan gudang
eksportir ke pelabuhan muat serta ekspedisi muatan kapal laut (EMKL). EMKL
adalah perusahaan jasa yang mencarikan kapal untuk mengangkut barang. EMKL
inilah yang berhubungan dengan shipping company atau agennya. Nah, faktanya,
tak sedikit forwarder dan EMKL berada di bawah kendali agen pelayaran. Mereka
dipilih berdasarkan pengalaman dan kepraktisan, termasuk kepraktisan diajak
bersekongkol dalam melakukan kejahatan yang barangkali akan terbukti dari
hasil penyelidikan polisi nantinya.
Solusi
Pemerintah
harus lebih mewaspadai perusahaan pelayaran atau agen pelayaran yang dengan
mudahnya menerbitkan B/L. Bagaimananapun B/L adalah document of title yang
bernilai ekonomis layaknya surat berharga lain. Pemegang hak atas B/L bisa
menjual-belikan barang yang disebutkan di dalamnya cukup hanya dengan cara
endorsement (menguasakan atau mengalihkan hak-hak kebendaan dengan
membubuhkan tanda tangan di balik lembar asli B/L) atau penyerahan langsung
atas B/L tersebut. Status sebagai surat berharga ini menyebabkan peranan B/L
sangat menentukan dalam dunia bisnis, terutama dalam melengkapi syarat
administratif untuk mengurus restitusi pajak dan fasilitas pembiayaan dari
bank. Penerbitan B/L secara sembarangan tanpa adanya bukti pengiriman barang
akan merusak kepercayaan pasar, berpotensi merugikan negara, dan bisa
menurunkan kepercayaan bank terhadap eksportir pada umumnya.
Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C,
khususnya di bank-bank BUMN, cukup baik karena telah dibangun dan
disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman-
pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak
cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem
pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja
melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan
kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara
pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan
menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah. Sebaliknya, pelayanan yang
dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan.
Bank
juga harus waspada
Begitu
pula dengan dokumen PEB. Walau tidak bernilai ekonomi karena bukan surat
berharga, PEB berharga bagi eksportir untuk menjadi kelengkapan administratif
dalam mencairkan restitusi pajak. PEB juga menjadi pelengkap dokumen dalam
mengajukan fasilitas pembiayaan ekspor dari bank dan terutama menjadi bukti
adanya realisasi ekspor yang barangnya telah melewati pengawasan pihak Bea
Cukai.
Restitusi
pajak tidak bergantung pada transaksi impor yang pembayarannya melalui bank
atas dasar letter of credit (L/C), tidak pula berdasar pada transaksi ekspor
yang pembayarannya dilakukan pembeli di luar negeri dengan menggunakan L/C
dari banknya. Dengan begitu, mestinya bank tidak mempunyai keterkaitan
langsung dengan pembobolan dana restitusi pajak. Apalagi, syarat pengajuan dokumen
ke KPP tidak mensyaratkan dokumen yang diterbitkan bank. Kecuali apabila KPP
meminta nota kredit yang diterbitkan bank sebagai bukti hasil pembayaran
ekspor.
Biar
begitu, pihak perbankan tetap prihatin. Munculnya kasus dokumen fiktif
sebagai modus pembobolan restitusi pajak ini makin menunjukkan tidak adanya
niat pihak-pihak yang berkompeten dalam penerbitan dokumen ekspor untuk lebih
mewaspadai penggunaan dokumen fiktif sebagai sarana kejahatan. Pembobolan
uang senilai Rp 1,2 triliun di Bank BNI pada 2003 lalu seharusnya menjadi
pelajaran berharga supaya di kemudian hari kasus serupa tidak terjadi.
Perbankan
sebaiknya lebih berhati-hati dalam memberikan fasilitas pembiayaan
pasca-pengapalan atas dokumen ekspor yang selama ini menggunakan dasar L/C.
Bisa jadi dokumen ekspor fiktif yang digunakan untuk mengeruk restitusi pajak
digunakan pula untuk membobol bank, seperti modus operandi dalam kasus Bank
BNI. Oleh sebab itu, sebaiknya bank mengirimkan dokumen ekspor lebih dahulu
ke bank pembuka L/C di luar negeri sampai dibuktikan bahwa dokumen tersebut
tidak palsu. Maklum, seperti halnya dialami KPP, bank tak punya akses ke
Kantor Bea Cukai dan ke perusahaan pelayaran untuk memastikan ada tidaknya
ekspor fiktif.
Kalau
pemerintah mau serius mengantisipasi kemungkinan pembobolan dana negara
melalui ekspor fiktif, sebaiknya dibentuk sistem komunikasi antara lembaga
perbankan, Kantor Bea Cukai, Kantor Pajak, dan perusahaan pelayaran.
*
Fr. Sumarwan, Pemerhati ekspor impor, pegawai bank swasta di Yogyakarta
|
Rabu, 28 Maret 2012
Akuntansi Internasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ok makasih ^^
BalasHapus