Rabu, 28 Maret 2012

Akuntansi Internasional



Kontan no. 18, Tahun X, 2006, 03-Pebruari-2006
Ekspor Fiktif Demi Restitusi Pajak
Kembali media masa menyorot soal dokumen ekspor fiktif yang menjadi modus pembobolan restitusi pajak. Santernya pemberitaan telah menimbulkan tanda tanya besar yangcukupmembingungkan masyarakat awam: Mengapa begitu mudah uang negara ditukar dengan dokumen palsu?

Kembali media masa menyorot soal dokumen ekspor fiktif yang menjadi modus pembobolan restitusi pajak. Santernya pemberitaan telah menimbulkan tanda tanya besar yangcukupmembingungkan masyarakat awam: Mengapa begitu mudah uang negara ditukar dengan dokumen palsu?
Restitusi pajak merupakan bentuk pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai bagian dan hak wajib pajak berkait dengan kegiatan ekspor barang yang menggunakan komponen bahan baku atau barang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, pihak yang berhak memperoleh restitusi pajak adalah eksportir yang menggunakan kompenen bahan/barang, baik dibeli dan impor maupun dari dalam negeri.
Dalam kegiatan impor barang, ada pengurusan dokumen-dokumen impor dan penyelesaian kewajiban pajak impor termasuk PPN. Jumlah besaran pajak yang tertuang pada data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) akan menjadi utang pajak dan harus segera dilunasi berdasarkan faktur pajak yang telah diisi. PIB, bukti setoran pajak, dan dokumen pengiriman (bill of lading/airway bill), serta dokumen lainnya, akan menjadi syarat pengurusan barang untuk dikeluarkan dan wilayah pabean.
Selanjutnya, barang impor tersebut akan menjadi bahan baku/tambahan dalam rangka ekspor. Realisasi ekspornya akan menentukan hak memperoleh restitusi pajak Penaglhan restitusi itu sendiri harus didukung oleh bukti pengiriman barang dengan ditunjukkan dokumen-dokumen ekspor di depan kantor pelayanan pajak (KPP). Nah, kasus yang terungkap di KPP Pademangan, Jakarta Utara, adalah skenario pembobolan dana restitusi pajak dengan dokumen ekspor berikut faktur pajak yang sama sekali fiktif.


Cara mereka menilap uang negara
Dengan berpura-pura sebagai pembeli barang, pelaku kejahatan akan memperoleh faktur pajak dan penjualnya sebagai bukti bahwa pembeli telah membayar; bukan saja harga barang, melainkan juga beban pajak PPN. Selanjutnya, berbekal faktur pajak tersebut, serta dokumen-dokumen ekspor yang terdiri dari Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), bill of lading (B/L), invoice, dan packing list, pelaku mengajukan permohonan restitusi pajak ke KPP. Atas dasar dokumen tersebut, KPP membayarkan restitusi, hanya menggunakan dasar pemahamannya bahwa ekspor barang telah terjadi. Alasannya, pelaku telah menunjukkan B/L dari perusahaan pelayaran dan diperkuat dengan PEB yang disahkan Bea Cukai. Logikanya, barang telah melewati pemantauan instansi tersebut untuk benar-benar diekspor.


Masalahnya, bagaimana pelaku mendapatkan dokumen ekspor? Gampang. Kira-kira mereka akan menempuh tahapan seperti ini:
Eksportir fiktif yang telah mengantongi faktur pajak datang ke Kantor Bea Cukai untuk mengurus dokumen PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang). Bea Cukai meneliti kebenaran data isian PEB berdasarkan data pendukung invoice dan packing list. Apabila tidak ada keraguan atas data-data yang ada, pihak Bea Cukai akan melakukan registrasi/fiat yang berarti menunjukkan status barang tersebut sebagai barang ekspor.
Eksportir fiktif memasukkan barang atau seolah-olah memasukkan barang ke dalam kontainer untuk dikirim ke terminal petikemas, sekalipun nantinya kontainer berikut isinya akan dikeluarkan kembali dari kawasan peti kemas.
Perusahaan pelayaran (shiping company) atau agen pelayaran menerbitkan bill of lading (B/L) yang seolah-olah menjadi bukti bahwa kontainer tersebut sudah dimuat di atas kapal untuk kemudian diangkut.
Pertanyaan susulan, bagamana mungkin perusahaan pelayaran menerbitkan B/L kalau barang tak benar-benar naik kapal? Begini, tak sedikit eksportir menggunakan jasa pihak lain (forwarder) untuk melancarkan urusan barang dan sekaligus dokumen ekspornya. Forwarder menjual jasa pengurusan dokumen dan barang dan gudang eksportir ke pelabuhan muat serta ekspedisi muatan kapal laut (EMKL). EMKL adalah perusahaan jasa yang mencarikan kapal untuk mengangkut barang. EMKL inilah yang berhubungan dengan shipping company atau agennya. Nah, faktanya, tak sedikit forwarder dan EMKL berada di bawah kendali agen pelayaran. Mereka dipilih berdasarkan pengalaman dan kepraktisan, termasuk kepraktisan diajak bersekongkol dalam melakukan kejahatan yang barangkali akan terbukti dari hasil penyelidikan polisi nantinya.

Solusi

Pemerintah harus lebih mewaspadai perusahaan pelayaran atau agen pelayaran yang dengan mudahnya menerbitkan B/L. Bagaimananapun B/L adalah document of title yang bernilai ekonomis layaknya surat berharga lain. Pemegang hak atas B/L bisa menjual-belikan barang yang disebutkan di dalamnya cukup hanya dengan cara endorsement (menguasakan atau mengalihkan hak-hak kebendaan dengan membubuhkan tanda tangan di balik lembar asli B/L) atau penyerahan langsung atas B/L tersebut. Status sebagai surat berharga ini menyebabkan peranan B/L sangat menentukan dalam dunia bisnis, terutama dalam melengkapi syarat administratif untuk mengurus restitusi pajak dan fasilitas pembiayaan dari bank. Penerbitan B/L secara sembarangan tanpa adanya bukti pengiriman barang akan merusak kepercayaan pasar, berpotensi merugikan negara, dan bisa menurunkan kepercayaan bank terhadap eksportir pada umumnya.
Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah. Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan.
Bank juga harus waspada
Begitu pula dengan dokumen PEB. Walau tidak bernilai ekonomi karena bukan surat berharga, PEB berharga bagi eksportir untuk menjadi kelengkapan administratif dalam mencairkan restitusi pajak. PEB juga menjadi pelengkap dokumen dalam mengajukan fasilitas pembiayaan ekspor dari bank dan terutama menjadi bukti adanya realisasi ekspor yang barangnya telah melewati pengawasan pihak Bea Cukai.
Restitusi pajak tidak bergantung pada transaksi impor yang pembayarannya melalui bank atas dasar letter of credit (L/C), tidak pula berdasar pada transaksi ekspor yang pembayarannya dilakukan pembeli di luar negeri dengan menggunakan L/C dari banknya. Dengan begitu, mestinya bank tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan pembobolan dana restitusi pajak. Apalagi, syarat pengajuan dokumen ke KPP tidak mensyaratkan dokumen yang diterbitkan bank. Kecuali apabila KPP meminta nota kredit yang diterbitkan bank sebagai bukti hasil pembayaran ekspor.
Biar begitu, pihak perbankan tetap prihatin. Munculnya kasus dokumen fiktif sebagai modus pembobolan restitusi pajak ini makin menunjukkan tidak adanya niat pihak-pihak yang berkompeten dalam penerbitan dokumen ekspor untuk lebih mewaspadai penggunaan dokumen fiktif sebagai sarana kejahatan. Pembobolan uang senilai Rp 1,2 triliun di Bank BNI pada 2003 lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga supaya di kemudian hari kasus serupa tidak terjadi.
Perbankan sebaiknya lebih berhati-hati dalam memberikan fasilitas pembiayaan pasca-pengapalan atas dokumen ekspor yang selama ini menggunakan dasar L/C. Bisa jadi dokumen ekspor fiktif yang digunakan untuk mengeruk restitusi pajak digunakan pula untuk membobol bank, seperti modus operandi dalam kasus Bank BNI. Oleh sebab itu, sebaiknya bank mengirimkan dokumen ekspor lebih dahulu ke bank pembuka L/C di luar negeri sampai dibuktikan bahwa dokumen tersebut tidak palsu. Maklum, seperti halnya dialami KPP, bank tak punya akses ke Kantor Bea Cukai dan ke perusahaan pelayaran untuk memastikan ada tidaknya ekspor fiktif.
Kalau pemerintah mau serius mengantisipasi kemungkinan pembobolan dana negara melalui ekspor fiktif, sebaiknya dibentuk sistem komunikasi antara lembaga perbankan, Kantor Bea Cukai, Kantor Pajak, dan perusahaan pelayaran.
* Fr. Sumarwan, Pemerhati ekspor impor, pegawai bank swasta di Yogyakarta



1 komentar:

Silakan berkomentar dengan santun... :))